Aksi Damai 212

Lapangan Monas Jakarta, Jumat (02/12/2016)

Untuk ketiga kalinya, sekelompok tokoh Islam yang menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menggelar aksi demonstrasi—meski untuk yang kali ketiga, Jumat (02/12/2016) diberi label “Aksi Super Damai”, di Jakarta, dan melibatkan ratusan ribu, bahkan ada yang menyebutnya jutaan orang.

Awalnya, semangat dan tuntutan aksi ketiga akan sama persis dengan dua aksi sebelumnya, 28 Oktober dan 4 November 2016,  yakni menuntut Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok–yang dituduh menista Agama Islam dan ulama, untuk ditahan dan dihukum penjara. Agendanya, di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin, dua jalan protokol di Jakarta, akan diisi sholat Jumat berjamaah, dan dianjutkan orasi aneka tuntutan, sampai pukul 18.00 WIB.

Namun empat hari menjelang aksi, tepatnya 28 November, berlangsung pertemuan di Kantor Pusat MUI di Jakarta, antara Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Koordinator GNPF Habib Rizieq Shihab, dengan Ketua MUI Ma`ruf Amin bertindak sebagai fasilitator.

pertemuan-kapolri-dan-gnpf3

Ada empat poin kesepakatan yang dicapai, kesepakatan mana mengubah semua yang telah direncanakan GNPF dan terlanjur dibayangkan peserta aksi. Isi kesepakatan, kegiatan hanya akan diisi dzikir, penyampaian tausiyah dan sholat Jumat dan tidak ada orasi. Lokasinya pun tidak jadi di Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin, tapi di Lapangan Monas Jakarta. Semua keperluan untuk itu termasuk penyediaan panggung dan angkutan kepulangan peserta aksi, ditanggung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dan satu lagi, waktu pelaksanaan aksi, hanya dibatasi sampai pukul 13.00 WIB atau seusai sholat Jumat.

Maka ketika GNPF mengelar aksi jilid tiga itu, pelaksanaannya memang berjalan damai. Sejak pagi lautan manusia peserta aksi hanya melakukan dzikir, mendengarkan tausiyah sampai pelaksanaan sholat Jumat. Bahkan Presiden Jokowi pun hadir dan ikut melaksanakan sholat di sana, bersama Wapres Jusuf Kalla,

presiden-datang-ke-aksi-damai-2122Usai sholat, Presiden Jokowi mengucapkan terima kasih dan penghagaan yang tinggi atas doa yang dipanjatkan peserta aksi dan minta kembali ke tempat asal masing-masing dengan tertib. Tidak ada orasi di atas panggung, tidak ada pula tuntutan agar Ahok dipenjara—kecuali sesaat yang disampaikan lewat lantunan sekenanya, apalagi teriakan caci maki, seperti pada dua aksi sebelumnya. Mungkin ada yang tidak puas dengan ending datar seperti itu, terutama mereka yang berharap ricuh dan (dengan demikian) ada ruang tembak untuk menyerang target mereka, tapi untuk kebaikan bangsa, itulah yang terbaik.

Apa sebenarnya yang terjadi? Banyak yang bertanya. Benarkah perubahan mencolok format aksi dan kedamaian yang tercipta itu setelah Kapolri dan Panglima TNI berhasil meyakinkan bahwa aksi itu berpotensi disusupi kelompok teroris, sebagaimana gencar disampaikan dua pimpinan Polri dan TNI di hari sebelumnya? Publik bertanya dan tak ada yang tahu.

Pada sudut pandang lain, sama seperti dua aksi sebelumnya, aksi ketiga 2 Desember itu, masih belum bisa disebut mewakili kaum muslim di negeri ini secara keseluruhan. Ketidakhadiran sejumlah petinggi Ormas Islam dan para ulama terkemuka di tanah air, menunjukkan, banyak yang tak setuju dan sependapat dengan digelarnya aksi itu.

Lalu apa pesan yang ingin dicapai dan didapat dari aksi-aksi ketiga itu? Nyaris tidak ada, kecuali fakta bahwa itu adalah sholat Jumat berjamaah terbesar sepanjang sejarang bangsa ini, dan umat yang menjadi jemaah, bersama pemimpin mereka mendoakan keselamatan bangsa dan negara bernama Indonesia ini.

aksi-damai-2123

Memang, beberapa jam sebelum aksi digelar, masyaralat dikejutkan dengan kabar penangkapan 10 orang di tempat berbeda, karena tuduhan sedang merencanakan makar. Tapi penangkapan oleh polisi yang mirip “operasi senyap”  dan publikasi yang terbatas, membuat peristiwa itu nyaris tidak memberi riak apa pun pada pelaksanaan aksi yang berlangsung setelahnya.

Bisa saja ada yang memahaminya sebagai “show of force” dari kekuatan sipil yang hendak melakukan tekanan atas tuntutan yang dilancarkan, Tapi apakah benar, tekanan itu mencapai hasil, dalam arti yang ditekan menjadi tertekan lalu kemudian memenuhi tuntutan? Ini negara demokrasi, Anda berhak menilai dan menyatakan pendapat masing-masing.

Satu hal, peristiwa penangkapan sejumlah tokoh yang terjadi sebelum Aksi Damai 212 digelar, seperti jadi pembenar tudingan aparat keamanan dan banyak kalangan, bahwa aksi seperti itu memang tidak murni dilakukan dan disemangati gerakan agama, tapi ada kepentingan dan kekuatan  lain yang ikut menyusup dan membonceng gerakan massif umat Islam itu. Dan itulah salah satu alasan aparat keamanan, jika tak bisa lagi dicegah, agar berhati-hati melaksanakannya.

Hal lain, rangkaian peristiwa gonjang-ganjing ini hendanya memberi penyadaran kepada  semua pihak, semua kalangan termasuk para pejabat sampai petinggi negeri ini, untuk tidak bermain-main dengan apa yang masuk kategori SARA, lebih-lebih menista agama, apalagi menista Agama Islam, yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Akibat yang ditimbulkan bukan lagi kegaduhan, tapi sudah keguncangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Smoga dijadikan pelajaran.

Penulis: Firdaus Masrun

Baca Opini Lain:

Sidang Ahok dan Wibawa Hukum
4 November
KTP Elektronik
Kebiri, Tepatkah
Menteri Arcandra, Kegaduhan Baru?
Testimoni Freddy
Awas Narkoba
Pilkada Serentak
Hak Memilih
Calon Tunggal

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here