Dramaturgi Korupsi

Ilustrasi: Kompasiana.com

Korupsi di negeriku ini sungguh menyebalkan. Setiap hari terbaca, terdengar atau terlihat, orang ditangkap karena korupsi. Tidak hanya di kalangan pejabat pusat tapi juga daerah, tidak hanya politisi tapi juga birokrat, pengusaha swasta hingga masyarakat sipil. Pokoknya, semua unsur terwakili.

Lucunya begini, saat ada yang harus dituding, polarisasipun terbentuk. Politisi dan Sipil saling menyalahkan, Pejabat Sipil dan TNI/Polri saling tunjuk, Penyuap dan yang Disuap sama-sama mengaku korban, bahkan antar pejabat partai politik penguasa dan nonpenguasa saling menebar teori konspirasi, bahwa ia dijebak, hanya korban pengalihan isu. Lucu kan?

Ada yang lebih lucu lagi. Begini, dengan melihat kasus-kasus yang telah terjadi, ternyata para pelaku korupsi adalah orang-orang yang sebelumnya pernah mengatakan “Jangan korupsi”, yang diucapkan saat mereka minta dipercaya.

Seorang Menteri Koruptor mengatakan itu sebelum jadi Menteri. Seorang Gubernur Koruptor, meneriakkan ajakan itu sebelum jadi Gubernur, bahkan di banyak tempat kepala daerah yang dipidana kasus korupsi, ditangkap tak lama setelah membuat Pakta Integritas Tolak Korupsi. Gila kan?.

Jadi, ini alasan pembenar apa yang dikatakan Erving Goffman dengan Teori Dramaturginya, bahwa dalam aktivitas interaksi satu sama lain, manusia sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama. Manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya, dengan khalayak masyarakat sebagai penontonnya.

Menurut sosiolog asal Kanada ini, mirip panggung pertunjukan, dalam interaksi itu manusia saat di depan khalayak (Front Stage) cenderung memainkan peran berbeda dengan saat ia di belakang panggung (Back Stage). Sang Koruptor yang menjadi aktor memainkan karakter manusia baik untuk mendapatkan gambaran positif tentang dirinya agar dipercaya, di balik niat jahatnya, dan khalayak terperdaya mengikuti alur cerita yang ia sajikan. Sang Aktor pun menperoleh kepercayaan yang ia impikan.

Satu hal, korupsi itu terkait kekuasaan. Jadi asumsi dasarnya, Anda yang berambisi berkuasa, berarti Anda berusaha mendekati peluang melakukan korupsi dan percayalah bahwa itu jalan menuju kehancuran. Karena ketika sudah tertangkap, Anda dan seluruh anggota keluarga Anda merasa malu, kecuali Anda dan keluarga sudah bermuka tembok. Jadi siapa nih yang salah dan patut disalahkan? Anda jawab sendirilah. (Firdaus Masrun)

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here