KTP Elektronik

KTP Elektronik (Foto: Kemendagri.go.id)

Seperti kita ketahui, hampir di setiap hajat politik memilih pemimpin itu, persoalan yang selalu muncul adalah soal htungan daftar pemilih. Akurasi angka pemilih selalu jadi persoalan. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (KPU dan Bawaslu) di satu pihak, terlibat saling tuding dengan Kemendagri dan Badan Pusat Statistik, di pihak lain, soal siapa yang menjadi sumber kesalahan.

Persoalan yang muncul beragam, yang berujung jumlah warga masyarakat yang berhak memilih, menjadi tidak jelas. Ada warga yang sudah pindah domisili, masih terdata di Tempat Pemungutan Suara (TPS) asalnya, warga yang saat pendataan belum berusia 17 tahun, marah-marah ke petugas TPS karena saat pencoblosan sudah berusia 17 tahun tapi tidak terdaftar di daftar mata pilih. Bahkan ada lagi yang lucu dan bikin kita geleng-geleng kepala, ada warga yang sudah lama meninggal dunia tapi masuk daftar pemilih, mulai di Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga jadi Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Bisa karena petugas pendataan (Kemendagri dan BPS sampai turunannya ke lapis bawah) yang tidak bekerja dengan baik, bisa juga—seperti tudingan banyak pihak,dan dibenarkan pihak yang kalah dalam pemilihan, yakni karena sengaja dilakukan pihak tertentu, untuk tujuan memenangkan salah satu pihak yang berkompetisi di pemilihan. (Baca: 22 Juta Penduduk Belum Miliki E-KTP)Caranya, dengan memberikan hak suara kepada orang yang tidak berhak tapi masuk di daftar tadi, kepada pendukungnya sehingga terjadi kepemilikan suara ganda bahkan berlipat dari semestinya.

Maka, dengan e-KTP semua bentuk persoalan itu akan bisa diatasi, minimal diminimalisasi. Karena e-KTP menggunakan sistem identitas tunggal (Single identity Number, atau SIN) yang diharapkan pemerintah bisa mendukung program penataan administrasi kependudukan yang baik, tertib dan ideal. Maka dengan pendataan yang terkoneksi secara nasional, jika diterapkan dalam pendataan pemilih suara, praktis tidak akan ada seorang pemilih mendapatkan lebih dari satu surat suara, apalagi berlipat, seperti yang selalu terjadi selama ini.

Di luar itu, begitu besar dan banyak manfaat jika sistem elektronik KTP ini bisa diterapkan secara nasional kepada semua penduduk di negeri ini.  Dengan perekaman data identitas penduduk secara komputerisasi, di mana blangko KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai alat verifikasi jati diri maka akan mengurangi angka kejahatan pemalsuan identitas, seperti kasus pencucian uang (money laundry), illegal logging, juga kasus-kasus transaksi suap, korupsi dan penghindaran pajak.

Bisa dipahami, jika untuk tujuan besar itu, pemerintah kini menggenjot proses perekaman data dan penerbitan e-KTP ini. Pemerintah menyadari bahwa melakukan itu tidaklah mudah dan pekerjaan gampang. Maka pilihannya adalah menjadikan e-KTP sebagai syarat dalam pemberian layanan publik, sepert penerbitan IMB, akte, pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM),keanggotaan BPJS, hingga pembayaran listrik dan lain-lain (Baca: Hidup Berisiko Tanpa Miliki e-KTP). Persoalannya, kadang warga masyarakat terkesan enggan mengurus kepemilikan identitas kependudukan ini dengan alasan prosesnya panjang dan berbelit, padahal tidak demikian, karena pemerintah sudah membuat berbagai kemudahan termasuk turun ke lapangan,  strategi “jemput bola”. (Baca juga: Kemendagri: Urus KTP Tak Perlu Lewat RT-RW)

Hanya dengan demikian, menurut perhitungan pemerintah, program besar ini bisa dilaksanakan. Maka ketika kini—setelah melalui proses sosialisasi cukup lama, pemerintah kini mengambil langkah tegas dengan memberi batas waktu perekaman data paling lambat 30 September 2016, itu bisa kita pahami dan sepatutnya kita dukung.

Penulis: Firdaus Masrun

Baca Opini Lain:

Aksi Damai 212
4 November
Kebiri, Tepatkah
Menteri Arcandra, Kegaduhan Baru?
Testimoni Freddy
Awas Narkoba
Pilkada Serentak
Hak Memilih
Calon Tunggal

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here