RUU Pemilu Disahkan, Presidential Threshold 20 % Kursi DPR

Rapat Paripurna DPR RI saat sahkan RUU Pemilu, Jumat (20/07/2017) dini hari

Jakarta, Kabarserasan.com—Melalui perdebatan panjang dan hujan interupsi sepanjang pembahasan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilu untuk menjadi undang-undang, pada rapat paripurna yang berakhir Jumat (20/07/2017) dini hari.


Perdebatan panjang, terjadi sejak sepekan terakhir mengenai beberapa issu krusial, yang kemudian mengerucut menjadi dua paket opsi—Opsi A dan Opsi B, yang kemudian membelah fraksi-fraksi di DPR menjadi dua kelompok.

Opsi A mayoritas didukung partai-partai pendukung pemerintah, Opsi B didukung mayoritas partai-partai oposisi. Keputusan diambil tak lama setelah empat fraksi yang memilih RUU Pemilu dengan opsi B, melakukan aksi walk out.

Dengan keputusan terakhir, DPR melakukan aklamasi memilih opsi A, yaitu Presidential Threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. “Apakah Rancangan Undang-Undang Pemilu bisa disahkan menjadi undang-undang?” kata Ketua DPR Setya Novanto, yang memimpin sidang. Peserta paripurna pun serentak menjawab, “Setuju…”

Setrya Novanto pun segera mengetok palu tiga kali, tanda pengesahan UU Pemilu. “Paket A kita ketok secara aklamasi. Berikutnya saya persilakan Mendagri untuk menyampaikan pandangan pemerintah,” ucap Setya Novanto.

Empat fraksi yang melakukan aksi walk out, yakni Fraksi Gerindra, PKS, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Mereka memilih Opsi A, dengan PT sebesar 0 persen, dan menilai PT 20-25 persen bertentangan dengan konstitusi, dalam hal ini prinsip keserentakan Pemilu 2019.

Di luar issu PT, perbedaan juga dalam hal Metode Konversi Suara. Sedangkan tiga issu lain semua fraksi relatif sependapat, yakni mengenai Parliamentary Threshold, Alokasi Kursi Per Dapil dan Sistem Pemilu.

Berikut penjelasan mengenai kelima issu krusial tersebut, dan sikap fraksi-fraksi di DPR

1. Presidential Threshold

Presidential threshold menjadi isu krusial di mana setiap parpol di DPR, termasuk pemerintah memiliki kepentingan masing-masing soal angka yang diusulkan. Pengertian presidential threshold adalah ambang batas untuk pengajuan presiden atau wakil presiden.

Pada Pemilu 2014, diputuskan perlunya 20 persen jumlah kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional bagi capres/cawapres yang ingin maju dan didukung parpol atau parpol gabungan.

Namun, berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa Pemilu (Pileg dan Pilpres) dilaksanakan serentak pada tahun 2019. Namun, tidak dijelaskan berapa presidential threshold yang semestinya.

Ada yang menganggap tidak perlu lagi adanya presidential threshold (nol persen), atau masih diperlukan. Di DPR sendiri, terbagi menjadi 3 kubu presidential threshold. Opsinya adalah nol persen (diusulkan Gerindra, Demokrat, PAN), 10-15 persen(diusulkan PKB dan Hanura), dan 20-25 persen (diusulkan PDIP, Golkar,NasDem, PKS, dan PPP).

Hanya saja peta terkini, diprediksi tinggal PAN dan PKB yang masih bisa diajak berkompromi soal angka presidential threshold. Sedangkan, Hanura condong ke 20-25 persen.

“Komunikasi tetap kami laksanakan. Mudah-mudahan PAN dan PKB bisa bersama-sama dengan kami karena dua partai itu juga merupakan partai pemerintah,” ujar Bendahara Fraksi PDIP Alex Indra Lukman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2017).

2. Parliamentary Threshold

Berdasarkan pasal 208 UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD, dan DPD disebutkan bahwa tiap parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 3,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional dalam menentukan kursi di DPR.

Soal angka parliamentary threshold, awalnya sempat menimbulkan perdebatan sengit di mana ada parpol yang ingin dinaikkan hingga ke angka 7 persen.

Soal peta terkini, parliamentary threshold berkisar 3,5 persen sampai 5 persen saja. Sikap dari pemerintah menginginkan angka tersebut dinaikkan. Begitu juga dengan parpol lain, walau angka tersebut tidak naik secara signifikan.

Saat Pemilu tahun 2014 lalu, PBB dan PKPI tidak lolos ke DPR karena memiliki perolehan suara nasional di bawah 3,5 persen. Nah, jika angka tersebut dinaikkan, parpol kecil dan parpol baru seperti Perindo, PSI, atau Partai Idaman harus kembali menyusun strategi kembali.

3. Alokasi Kursi Per Dapil

Alokasi kursi per dapil yakni rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan. Saat ini, DPR dan pemerintah sepakat ada 575 daerah pemilihan atau bertambah 15 kursi dari Pemilu sebelumnya.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 8/2012 disebutkan jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Nah, mayoritas fraksi sudah sepakat bahwa pembagian kursi per dapil yaitu tetap dalam rentang 3-10 kursi. Sedangkan, masih ada sebagian kecil fraksi yang ingin diturunkan menjadi 3-8 kursi per Dapil.

4. Metode Konversi Suara

Meski jarang terdengar diperdebatkan, metode konversi suara juga termasuk salah satu isu krusial RUU Pemilu. Alasannya, metode yang berbeda mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR. Saat ini metode suara yang belum diputuskan yaitu kuota hare dan sainte lague murni.

Kuota Hare diusulkan Gerindra, Demokrat, PKB, NasDem, PAN, Hanura, PKS. Sedangkan sainte lague murni condong ke PDIP, Golkar, PPP.

Kuota Hare merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang sudah tidak asing di Indonesia karena metode ini paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu.

Terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi melalui teknik penghitungan Kuota Hare.

Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus V (vote) per S (seat). Kedua, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi.

Sedangkan, metode sainte lague menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan penghitungan suara ini bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.

5. Sistem Pemilu

Soal sistem Pemilu, terbagi menjadi proporsional terbuka, proporsional tertutup, atau gabungan keduanya. Sistem proporsional terbuka adalah memilih anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.

Artinya, siapa yang memiliki suara terbanyak dalam pemilu, mereka yang berhak menjadi anggota legislatif. Sistem ini lebih menguntungkan figur yang sudah memiliki nama yang maju dalam Pileg.

Sedangkan, sistem proporsional tertutup adalah sebaliknya. Sistem itu berdasarkan nomor urut. Nomor urut paling atas (misal 1 atau 2) yang berpeluang lolos menjadi anggota DPR. Penentuan nomor urut dilakukan oleh parpol. Sedangkan, pemerintah sempat mengusulkan gabungan dari keduanya.

Namun, kini setiap fraksi dan pemerintah sudah sepakat sistem Pemilu proporsional terbuka. Keputusan ini terlihat dari paket isu krusial yang diajukan ke rapat paripurna hari ini. (*/Jun)

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here