Playing Victim, Gibran?

Oleh: Dr H Salmudin, Pengajar STIH Serasan, Muara Enim

Kehadiran Gibran Rakabuming Raka di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024, menyita perhatian, bahkan menguras energi banyak pihak, dalam posisinya sebagai anak Presiden Joko Widodo. Gibran disorot, terkait prosesnya menjadi calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Capres Prabowo Subianto yang kontroversial.

Konroversinya, bukan saja karena usia dan pengalamannya di politik yang masih belia—Gibran berusia 36 tahun dan baru 2 tahun menjabat Wali Kota Solo, tapi juga proses politiknya yang membuat Majelis Konstitusi mengubah syarat umur seorang Capres dan Cawapres—sebagaimana tertuang dalam undang-undang, yang semula mensyaratkan minimal 40 tahun, menjadi minimal 40 tahun atau di bawah 40 tahun tapi sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu (elected officials). Makin kontroversial lagi, karena meski keputusan MK itu mendapat tentangan banyak pihak, tapi, keputusan tersebut menjadi dasar konstitusi Gibran menjadi Cawapres.

Dari situlah, Gibran bersama pasangan Capresnya Prabowo, menjadi bulan-bulanan cemoohan, ejekan dari sejumlah pihak, terutama dari kelompok pendukung dua Paslon lawannya, pasangan Paslon Nomor Urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Paslon Nomor Urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Gibran dituding menjadi Cawapres yang dipaksakan oleh ayahnya, Presiden Jokowi, dan legalitasnya dianggap menabrak aturan dan berbau nepotisme, karena syarat konstitusi menyangkut uurnya dari keputusan MK yang diketuai pamannya, Anwar Usman. Bahkan ada yang menyebut Gibran sebagai Anak Haram Konstitusi. Usia dan pengalamannya yang masih belia, membuatnya dicap sebagai anak ingusan dan diremehkan untuk mampu mengemban tugas dan jabatan sebagai Wakil Presiden.

Yang kini dialami Gibran ini, seperti mengulangi lagi apa yang dialami sang ayah, Jokowi saat mengikuti 2 kali kontestasi Pilpres, yakni Pilpres tahun 2014 dan 2019, yang lucunya pada kedua Pilpres itu Jokowi berhadapan dengan Prabowo, pasangan Capres anak Jokowi sendiri. Berbagai cibiran, tuduhan hingga fitnah, menggambarkan gencarnya serangan yang dilancarkan kelompok lawannya, yang tidak lagi sebagai kampanye negatif (negative campaign) tapi sudah berbentuk kampanye hitam (blak campaign) yang dilarang undang-undang Pemilu di Indonesia.

Kelompok pendukung Paslon 01 dan Paslon 03 pada Pilpres 2024 mestinya belajar dari Pilpres sebelumnya itu—termasuk Pilpres 2014 dan Pilpres 2019—sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, bahwa serangan dengan menggunakan strategi kampanye negatif dan kamanye hitam, tidak menjamin kemenangan akan diraih, bahkan fakta menunjukkan, hasilnya bisa berkebalikan. Karena, meski seorang calon banyak kelemahan bahkan salah sekali pun, jika terus diserang dan ditekan, justru dapat masyarakat tumbuh rasa iba, kasihan dan akhirnya simpati kepada yang bersangkutan. Dengan kata lain, masyarakat kita Indonesia, terbukti mudah lupa, gampang memaafkan dan simpati pada pihak yang dianggap korban.

Coba simak data dan fakta berikut ini;

  1. Pilpres 2004

Sebegitu kuatnya posisi Megawati Soekarnoputri (sebagai Presiden, incumbent, Ketua Umum PDIP, partai terbesar dan menjadi pemenang Pemilu), tapi kemudian kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang maju ke kontestasi Pilpres lewat partai  yang baru beberapa bulan didirikannya, Partai Demokrat. Apa strategi SBY? Memposisikan diri sebagai “korban” dari tekanan politik yang dilakujan kubu rivalnya. Diawali pemecatannya sebagai menteri, lalu diejek sana sini, disebut cengenglah, tapi dari sana rakyat simpati dan mendukungnya, kemenangan pun diraih.

  1. Pilpres 2009

Megawati dan PDIP, tak juga belajar dari pengalaman, dengan masih saja menggunakan strategi sama. Ironisnya strategi itu dilakukan juga Paslon lain, JK-Wiranto, dengan menyebut SBY Presiden Cengeng, Bisanya ngeluh aja hingga muncul sebutan JK sebagai “The Real Presiden”. padahal saat sama,  SBY sudah semakin kuat bermodal 5 tahun berkuasa. Ia membiarkan semua dan apa pum yang dikatakan lawannya. Hasil dari Pilpres 2009, SBY kembali menang. Megawati? Sampai sekarang tetap hidup dengan sakit hatinya.

  1. Pilpres 2014

Pada Pilpres ini. giliran Prabowo yang tak belajar dari kesalahan sebelumnya. Mantan Cawapres Megawati di Pilpres 2009 ini, maju sebagai Capres dengan modal mentereng yang membuatnya Super PD (Percaya Diri)—mengandalkan kegagahan fisiknya, catatan dan latarbelakang kemiliterannya yang panjang, kaya dan pimpinan partai terbesar ketiga (setelah PDIP dan Golkar), ia tak hanya terkesan menganggap remeh rivalnya Jokowi yang bermodal sebaliknya, tapi juga mengidentifikasikan dirinya korban keingkaran “Janji Batutulis” yang dibuat Megawati dan dirinya. Jokowi pun menghadapi tuduhan sana-sini, fitnahan bertubi. Hasil Pilpres 2014? Jokowi Menang. Prabowo gigit hari dan menuduh dicurangi..halaaah

  1. Pilpres 2019

Prabowo tak beda dengan Megawati (meski kemudian berbalik menggunakan strategi sebaliknya ala SBY). Dihinggapi rasa penasaran ia tak mau juga belajar dari pengalaman, dengan tetap saja membiarkan pendukungnya menggunakan strategi “Negative Campaign” hingga “black Campaign”. Jokowi dihajar dari semua sisi, disebut planga plongolah, disebut kecebonglah, dituduh berijasah palsulah, keturunan PKI-lah..blablabla, mirip yang kini mulai dialami Gibran.

Nah, jika benar strategi playing victim itu yang kini sedang dijalankan oleh Kubu Paslon Nomor Urut 2, bahkan dengan ramuan lebih hebat karena dimainkan duet Prabowo dan Jokowi, apakah Kubu Paslon Nomor Urut 1 dan 3 akan dengan sadar masuk dalam jebakan?

Sangat mungkin berulang, makin ditekan, diejek dan difitnah, Gibran dan Prabowo akan semakin meraih simpati masyarakat, yang seakan melupakan kontroversi Gibran masuk dalam kontestasi Pilpres ini. Ingat juga pepatah lama, hanya keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama, selain fitnah itu dosa besar, Bung. Nah, masih mau memfitnah Gibran dan Prabowo?

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here