Jurnalis Tidak Akan Mati!

Ilustrasi/ist

Kabarserasan.com — “Sekarang ini teknologi sudah semakin canggih, masyarakat biasa pun bisa menjadi seorang jurnalis. Tidak akan lama lagi profesi jurnalis akan mati!”

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) memang memiliki pengaruh yang begitu besa rbagi setiap sela kehidupan manusia. Begitu juga dengan profesi jurnalis. Pada era ini, dunia jurnalistik dinilai memiliki cakupan yang lebih luas. Dalam hal ini media turut serta melibatkan partisipasi masyarakat dalam menghasilkan karya jurnalistik. Istilah untuk menggambarkan fenomena tersebut yakni jurnalisme warga atau dalam bahasa Inggris Citizen Journalism. Hebatnya kualitas dari karya jurnalistik yang dihasilkan oleh masyarakat tak jarang memiliki kualitas yang baik dan bermutu. Sehingga dinilai layak untuk dipublikasikan dan membantu media dalam memenuhi hak informasi masyarakat luas.

Dengan latar belakang seperti itu, banyak pihak yang berpikir bahwa profesi jurnalis diragukan eksistensinya dan akan ada masanya profesi ini akan hilang. Karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam pemenuhan right to know (hak untuk mengetahui) dan right to inform (hak untuk menginformasikan) bisa melibatkan masyarakat itu sendiri. Untuk lebih jelasnya ada beberapa faktor yang dinilai memperkuat pemikiran tersebut, di antaranya, antusiasme masyarakat untuk menghasilkan karya jurnalistik, kualitas jurnalistik yang dihasilkan banyak juga yang bermutu, kecanggihan teknologi yang terus berkembang.

Akan tetapi akan menjadi sebuah pernyataan yang pragmatis bila kita berpikir dengan sangat dangkal bahwa profesi jurnalistik akan mati. Ada beberapa hal mendasar yang perlu dipertimbangkan. Hal pertama yang perlu dipertimbangkan yakni, terkait kredibilitas. Seperti yang telah kita ketahui informasi yang berseliweran di masyarakat sangat berlimpah ruah, tapi apakah semua informasi dapat memiliki nilai berita dan kelayakan berita? Apakah semua informasi yang dipublikasikan kelak oleh masyarakat memiliki kebenaran yang terkonfirmasi dengan tepat? Nah, dalam hal ini media dan jurnalis memiliki tugas yang tidak sekadar mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi. Akan tetapi memiliki tanggung jawab kebenaran akan suatu informasi. Sesuai dengan salah satu poin dalam buku 9 Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengatakan, Intisari dalam Jurnalisme yakni disiplin dalam melakukan verifikasi. Disiplin dalam jurnalisme ini terkait dengan objektivitas. Objektivitas yang dimaksud yakni objektif dalam metodenya bukan wartawannya. Terdapat standar profesional yang harus ditetapkan dan dijalankan untuk menjamin objektivitas tersebut.

Contoh dari informasi tidak benar (hoax) yang disebarluaskan oleh warga yakni saat tragedi Bom Sarinah pada Januari 2016 ini yang cukup menggemparkan publik. Pasalnya, terdapat postingan di media sosial yang penggunanya mengatakan terdapat ledakan bom yang terjadi di beberapa titik lainnya yakni, di Slipi, Kuningan dan Cikini. Di sinilah peran seorang jurnalis yang membawa nama media masing-masing serta mengatasnamakan hak warga untuk mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut. Setelah  dilakukan pengonfirmasian, maka diketahui bahwa informasi tersebut merupakan hoax. Sekali lagi ditekankan bahwa jurnalis dan media yang menaunginya memiliki kredibilitas bagi publik. Dari banyaknya informasi yang ada, publik tetap menunggu kejelasan dan kebenaran informasi dari media yang terpercaya. Meskipun pada realitanya, sebuah media pun bisa melakukan kesalahan dalam kebenaran informasi. Namun, kembali lagi, media memiliki tugas konfirmasi yang perlu ditegakkan dan menjadi sendi utama berita yang dipublikasikan.

Pertimbangan selanjutnya terkait dengan payung hukum. Halini pun bisa dihubungkan dengan pemberitaan hoax Bom Sarinah yang turut menarik nama salah satu stasiun televisi Indonesia. Stasiun televisi tersebut memberitakan lokasi ledakan bom yang belum dikonfirmasi. Kesalahan ini pun menjadi beruntut, karena Associated Pers (AP) mengutip berita melalui stasiun televisi tersebut dan TheGuardian mengutip kembali melalui AP. Akibatnya berita yang tidak benar menyebar hingga cakupan internasioanlal dan berdampak pada merosotnya tingkat kredibilitas media tersebut. Sebuah media yang memiliki kredibilitas pun berpotensi melakukan kekeliruan, namun karena merupakan sebuah media maka jurnalis tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan konfirmasi dan mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat. Artinya, bila suatu media melakukan kesalahan atau kekeliruan, mereka memiliki kode etik dan payung hukum yang bisa masyarakat ajukan atas kesalahan mereka. Dengan begitu proses perbaikan bisa dilakukan.

Pertimbangan selanjutnya yakni terkait jurnalistik itu sendiri sebagai sebuah profesi di mana di dalamnya terdapat hak dan kewajiban juga kode etik jurnalistik. Dalam sebuah media,seorang jurnalis memiliki tenggat waktu untuk menghasilkan berita baik dalam media cetak, elektronik maupun media dalam jaringan (online). Hal ini berkaitan dengan dua hal yakni pemenuhan tugas untuk media yang menaunginya dan pemenuhan hak masyarakat akan informasi yang benar. Berbeda dengan jurnalisme masyarakat yang hanya menghasilkan karya jurnalistik berdasarkan keinginan personal dan masyarakat (tidak memiliki kewajiban dan tenggat waktu dalam menghasilkan berita).

Seorang jurnalis pun memiliki bidang jurnalistik dan metode pembuatan karya jurnalistik yang berbeda. Setiap jurnalis pada medianya masing-masing sudah dilakukan pemetaan dan memiliki segmentasinya masing-masing. Dengan begitu disesuaikan dengan kebutuhan penerima pesan dan terwujud pemenuhan kebutuhan informasi yang berimbang. Lain hal dengan jurnalisme warga yang memiliki kebebasan dalam menghasilkan karya jurnalstik dengan bidang dan metode yang diminati atau diinginkan.  Dengan begitu secara tegas memperlihatkan bahwa jurnalistik sebagai suatu profesi dengan jelas memiliki kode etik jurnalstik yang perlu dipenuhi. Kode etik tersebut sangat mengikat pada setiap aktivitas yang dilakukan oleh para jurnalis.

Berdasarkan pemaparan di atas maka terlihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat masyarakat terlibat secara aktif pada kegiatan jurnalistik. Dalam hal ini media pun memberikan kesempatan yang besar bagi masyarakat lewat jurnalisme warga sebagai wujud pemenuhan hak akan mengetahui dan memberitahukan. Namun, jika terdapat pemikiran bahwa jurnalisme akan mati ayalnya hal itu merupakan pernyataan yang sangat keliru. Karena terdapat sendi-sendi utama pada jurnalisme sebagai sebuah profesi yang tidak bisa digantikan oleh jurnalisme warga. Perlu diperhatikan pula karya jurnalistik yang dihasilkan oleh jurnalisme warga dan dipublikasikan oleh media tertentu, maka media yang mempublikasikan tersebutlah yang memiliki pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang dipublikasikan tersebut. Hingga jurnalisme warga berkembang pesat, belum ada hukum khusus yang menaungi hal tersebut, media masih memiliki peranan penting di sini. Masyarakat bisa memenuhi haknya melalui berpartisipasi menghasilkan karya jurnalistik, namun media (melalui jurnalis) yang memiliki wewenang konfirmasi dan kredibilitas. Karena publik memerlukan kredibilitas dari pihak-pihak yang diamanatkan oleh masyarakat juga hukum itu sendiri.

Risky Aprilia

Mahasiswa Prodi Ilmu Jurnalistik Universitas Padjadjaran

 

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here