
Jakarta, kabarserasan.com—PT Bukit Asam Tbk (PTBA) berhasil nutup tahun 2017 dengan mengantongi laba bersih Rp 4,47 triliun atau naik 223 % dari sebesar Rp 2 triliun di tahun 2016.
Kenaikan tersebut, didukung kemampuan managemen perusahaan ini merumuskan strategi yang efektif dalam bentuk peningkatan produksi, optimasi harga jual dan efisiensi biaya.
Demikian dikatakan Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin, saat menyampaikan kinerja keuangan perusahannya per 31 Desember 2017, Senin (12/03/2018) siang di Jakarta.
Kenaikan labar bersih tersebut, menurut Arviyan, karena adanya kenaikan volume penjualan, dan naiknya harga jual batu bara yang naik dari rata-rata di 2016 sebesar Rp 658.018 menjadi Rp 814.216 per ton di tahun 2017.
“Kemudian ada faktor kenaikan harga jual dan faktor efisiensi biaya penambangan yang turun,” Arviyan menjelaskan.
Arviyan mengatakan, sepanjang tahun 2017, PTBA membukukan pendapatan sebesar Rp 19,47 triliun (naik 38 % dari Rp 14,05 triliun di tahun 2016. Kenaikan itu salah satunya lantaran penetrasi perusahaannya dalam menjual batu bara low to medium calorie.
Lalu, di sisi volume penjualan batu bara, PTBA naik 14% dari 20,75 juta ton di 2016 menjadi 23,63 juta ton batu bara di sepanjang 2017. Komposisi penjualan mayoritas masih domestik sebesar 61% dan sisanya diekspor.
Diakui Arviyan, di saat sama beban pokok penjualan PTBA memang naik 14% seiring dengan kenaikan volume produksi yang cukup tinggi sebesar 24%. Namun dengan adanya efisiensi biaya dari perseroannya maka tercipta struktur biaya yang lebih efisien. Efisiensi dimaksud, seperti penurunan biaya penambangan sebesar Rp 785,68 miliar atau 26%, lalu juga menurunkan pembelian batu bara sebesar 70%.
Harga Batu bara Pembangkit Listrik
Terkait penetapan harga batu bara khusus pembangkit listrik sebesar US$ 70/ton, Arviyan meyakini, meski mayoritas penjualan batu bara PTBA di pasar domestik, tidak akan mengganggu kinerja keuangan perusahaannya.
Dijelaskannya, penjualan batu bara perseroan sebesar 23,63 juta ton di 2017 atau sekitar 61% dijual di dalam dalam negeri, sedangkan ekspor hanya 39%. Namun berdasarkan kewajiban DMO (Domestik Market Obligation), total batu bara yang harus dijual di dalam negeri hanya 25% dari produksi.
“Kita tahu 25% dari produksi harus dijual di dalam negeri. Saya melihat dengan 25% kalau dirata-ratakan masih lebih tinggi dari HBA (Harga Batu Bara Acuan) tiga tahun terakhir,” jelas Arviyan. (Ras/Jun)