Meninggal Saat Jadi Imam Salat Jumat, Jasad Jumhuri Tebarkan Aroma Wangi

Jasad Jamhuri tebarkan aroma wangi foto: JPNN

Samarinda, Kabarserasan.com – Jamhuri, Imam Masjid Baitut Tharah, Loa Janan Ilir, Samarinda, Kaltim, mengembuskan napas terakhir saat menjadi imam salat Jumat, kemarin (6/1). Meninggalnya Jamhuri membuat geger warga satu kampung, setelah jasadnya menebarkan aroma wangi yang tidak pernah tercium sebelumnya.

“Diperkirakan meninggal saat sujud pertama pada rakaat pertama. Setelah beberapa lama tidak juga kunjung bangun akhirnya beliau digantikan,” beber kaum masjid, Ahmad Zaini.

Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan menyempurnakan. Dan yang menentukan dan menunjukkan. Dan kami mudahkan bagimu jalan yang mudah. Sungguh beruntung orang yang membersihkan diri. Dan ia ingat nama Tuhannya lalu bersembahyang. Namun, kamu mengutamakan dunia. Padahal akhirat itu lebih baik dan kekal…

Itulah arti penggalan beberapa ayat dari surah Al’Ala yang dibacakan Jamhuri sebelum menghadap Sang Pencipta.

Pardiansyah yang saat itu sedang berada tepat di belakang Jamhuri maju menggantikan sebagai imam. Salat dilanjutkan. Jamhuri tak jua kunjung bangun dari sujudnya hingga salam.

Setelah selesai salat, jamaah langsung memeriksa keadaan Jamhuri. “Sidin (Jamhuri) sudah tidak ada lagi (meninggal),” cerita Zaini.

Akhirnya saat itu juga jenazah langsung dibawa ke rumah duka, Gang 17 Loa Janan, tak jauh dari masjid. Diakuinya, almarhum tidak terlihat sedang sakit.

Sebelum Jumatan Zaini sempat berbincang lama dengan dia. Saat itu, ayah empat anak tersebut adalah jamaah pertama yang datang ke masjid.

“Pukul 11 sudah datang. Banyak cerita mulai cerita anaknya di Banjar dan lainnya. Sidin juga bilang, kalau meninggal ada kenang-kenangan itu dua menunjuk tulisan bismillah dalam bahasa Arab di dalam dan luar masjid yang dulu dibuat almarhum,” ucap dia.

Tak menyangka kalimat yang keluar tersebut merupakan tanda akan pergi menghadap sang Illahi. Saat menjadi imam juga tidak ada tanda-tanda aneh. Jamhuri membacakan dengan lantang dan fasih surah Alfatihah dan Al’Ala.

“Tidak seperti orang sakit, sangat tampak sehat. Tetapi saat sujud, lirih terdengar suara takbir Allahu Akbar, pelan tetapi karena menggunakan mikrofon jadi agak terdengar,” tambah Zaini.

Selama hidup, Jamhuri dikenal Zaini sebagai orang yang baik dan taat. Keseharian juga dihabiskan untuk mengurus masjid, membaca doa, dan lainnya. Di masjid dia dijadikan pengurus seksi ibadah.

Meski telah lanjut, kakek enam cucu itu dapat membaur dengan kaum muda maupun tua. Dari segi penampilan juga sangat khas. Selalu mengenakan gamis dan surban.

Tidak pernah mengenakan pakaian lain saat salat. “Karena tertua kerap menjadi imam. Paling aktif menjadi imam di waktu zuhur dan asar,” jelas dia.

Hal senada disampaikan Mahmudah, anak bungsu Jamhuri. Kata dia, abahnya yang lahir pada 17 Agustus 1946 itu dikenal keluarga sebagai orang yang taat dan nyaris jarang absen dari salat berjamaah.

Anaknya juga tidak dituntut amalan yang macam-macam selain anjuran untuk selalu menunaikan salat lima waktu. Selama membesarkan anaknya, dia menerapkan pola asuh demokratis.

Menjadikan anak sebagai teman, pendapat anak didengar, bila tidak sesuai dibantah dengan tegas namun tidak kasar.

“Selalu memanjakan kami. Meskipun kami sudah berkeluarga, apapun yang kami inginkan selalu dipenuhi,” beber Mahmudah.

Keakraban yang terbiasa tersebut tidak membuat anaknya melihat ada tanda-tanda bahwa ayah akan pergi selamanya. Tidak ada pesan khusus, perilaku aneh, dan lainnya.

“Cuma abah sebelumnya tidak pernah memakai parfum, tetapi dua hari yang lalu sangat wangi. Sampai saya tegur, beliau hanya tertawa, katanya memang harus wangi,” kenang Mudah – sapaan akrabnya — dengan mata berkaca-kaca.

Di kehidupan sosial, Jamhuri tidak menutup diri. Dia dikenal ramah dan tidak memiliki musuh. Keseharian dihabiskan untuk mengurus masjid, dipanggil untuk membacakan doa ketika acara keagamaan umat Islam.

“Bila diceritakan di belakang juga tidak repot tetap baik seperti tidak ada masalah,” tambah dia.

Berbeda dengan Mahmudah dengan mata sembapnya, Rukiyah istri almarhum terlihat tampak tegar. Hanya dia satu-satunya yang tidak meneteskan air mata melihat suaminya meninggalkan dirinya lebih dulu.

Hanya sesekali matanya menatap jenazah yang tertutup kain terbaring di depannya. “Ya, karena sudah waktunya. Dia juga sudah kembali kepada Allah, jadi kita ikhlaskan saja. Saya hanya bisa mendoakan semoga amal ibadahnya diterima. Dan kami yang ditinggalkan mendapat ketabahan,” ucap perempuan berkacamata itu.

Selama hidup bersama dengannya, Jamhuri juga tidak pernah melarang istrinya berkegiatan. Majelis dan kegiatan positif lainnya terus didukung.

Dia juga sebagai pribadi yang penyayang terhadap istri dan keluarga. Tidak banyak tuntutan. “Tidak banyak tidur, ibadahnya rutin hanya salat, ngaji, baca kitab, selawat, itu saja yang saya ketahui. Bila ditunjuk mengisi khotbah, biasanya malamnya menulis khotbah sendiri di dalam kamar, buka kitab,” kenang dia.

Sejak tahun 1984, mereka sudah menetap di Loa Janan. Suaminya selama tinggal sudah dikenal sebagai tokoh agama di daerah tersebut.

Jamhuri merupakan anak tunggal perantau asal Martapura, Banjarmasin. Sebelum menetap bersama istri di Loa Janan, dirinya belajar di Pesantren Darussalam, Martapura.

Sumber: JPNN

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here