Mekanisme Pencabutan Perda Bermasalah

Foto: tjahjokumolo.com

Jakarta, Kabarserasan.com—Dalam upaya menertibkan peraturan daerah (Perda) yang dianggap bermasalah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor:582/476/SJ tentang Pencabutan/Perubahan Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah Dan Keputusan Yang Menghambat Birokrasi Dan Perizinan Investasi. Instruksi ini ditetapkan pada 16 Februari 2016

Dalam Instruksi Mendagri itu gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah untuk mencabut/mengubah perturan daerah, peraturan kepala daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah yang menghambat birokrai dan perizinan investasi.

Mekanismenya, gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal Cq Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri atas peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah provinsi yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi dengan mencantukan Judul, Bab, Bagian, Paragraf, Pasal dan Ayat untuk dibatalkan.

Bupati/Walikota melaporkan kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Cq Kepala Biro Hukum Provinsi atas peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah kabupaten/kota yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi dengan mencantumkan Judul, Bab, Bagian, Paragraf, Pasal dan Ayat untuk dibatalkan.

Bupati dan Walikota melaporkan perkembangan pencabutan/perubahan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah kabupaten/kota yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi kepada Gubernur setiap bulan pada Minggu Pertama.

Gubernur melaporkan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah kabupaten/kota yang telah dicabut/diubah dan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah provinsi yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi kepada Menteri Dalam Negeri setiap bulan pada Minggu Kedua.

Dalam hal penyusunan pencabutan/perubahan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah, Pemerintah Daerh Provinsi dapat berkonsultasi dengan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat berkonsultasi dengan Sekretaris Daerah melalui Biro Hukum Provinsi.

Lembaga Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengapresiasi langkah pemerintah tersebut. Menurut Direktur Eksekutif PSHK, Nur Sholikin, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, baik itu UU No.32 Tahun 2004 maupun penggantinya yaitu UU No.23 Tahun 2014 (UU Pemda) memberi kewenangan pemerintah mengawasi Perda, baik ketika masih bentuk rancangan maupun sesudah disahkan.

PSHK mencatat, Pasal 251 UU Pemda memberi kewenangan pengawasan kepada Menteri dan Gubernur sampai dengan kewenangan pembatalan melalui instrumen berupa keputusan menteri dan keputusan gubernur. Menteri berwenang membatalkan perda provinsi, sedangkan gubernur berwenang membatalkan perda kabupaten/kota.

Apabila gubernur tidak membatalkan perda maka Menteri yang akan membatalkan perda tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 251 ayat (3) UU Pemda. Keputusan pembatalan ini harus ditindaklanjuti dengan pemberhentian pelaksanaan perda dan pencabutan perda yang dibatalkan.

Apabila pemerintah daerah tidak menindaklanjuti pembatalan, UU Pemda telah menyiapkan sanksinya. Ketentuan adanya sanksi bagi pemerintah daerah ini merupakan materi pengaturan baru yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya. Ada dua bentuk sanksi yang akan diterima oleh pemerintah daerah, yaitu sanksi administratif dan sanksi penundaan evaluasi rancangan perda.

Sanksi administratif dikenakan kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan selama tiga bulan. Hal ini diatur dalam Pasal 252 ayat (3). Khusus untuk perda retribusi dan pajak daerah, apabila pemerintah daerah masih memberlakukan perda yang dibatalkan maka akan dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil. Hal ini seperti diatur Pasal 252 ayat (2) UU Pemda.

Akan tetapi, pemda diberi hak berdasarkan UU Pemda untuk mengajukan keberatan apabila tidak menerima keputusan pembatalan perda. Ini sesuai Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8). Gubernur dapat mengajukan keberatan atas pembatalan perda provinsi kepada presiden. Sedangkan, bupati/walikota mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri. Selama pengajuan keberatan, sanksi yang diatur dalam Pasal 252 ayat (3) tidak diberlakukan.

Mendagri menjelaskan,terbitnya Perda yang dianggap bermasalah karena tak semua Perda proses pembuatannya dikonsultasikan ke pemerintah pusat, sebagaimana diamanatkan UU Pemda.
“Tidak semua Perda itu mendapat asistensi dari pemerintah pusat dalam proses penyusunannya. Padahal dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, ada 6 jenis perda yang sebelum disahkan dan berlaku di daerah harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat” kata Mendagri.

Keenam peraturan itu terkait rancangan Perda APBD, tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Daerah (RPJMD dan RPJPD). Selain itu, peraturan kepala daerah lainnya juga tak pernah ada yang dilaporkan ke pusat. (Junel)

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here